Fenomena semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah perguruan tinggi telah meresahkan kehidupan masyarakat terutama civitas academica. Bahkan, dari 51 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2020, dapat diketahui bahwa universitas menempati urutan pertama yaitu sebesar 27% atau 14 kasus (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2020). Kasus di universitas biasanya terjadi dengan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Misalnya, saat bimbingan skripsi atau penelitian dengan modus tertentu.
Untuk mengatasi fenomena tersebut, pada tanggal 3 September 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021). Pihak-pihak yang berperan dan akan berkerja sama dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual antara lain adalah Perguruan Tinggi, Pendidik, Tenaga Kependidikan, Mahasiswa, dan Satuan Tugas. Di antara berbagai pihak tersebut, perlu dipahami bahwa mahasiswa memiliki peranan yang cukup menentukan. Peran mahasiswa ditentukan secara jelas dalam Pasal 8, Pasal 24, dan Pasal 27 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 yang pada intinya menyatakan bahwa mahasiswa memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Bahkan, bagi perempuan diberikan peluang dan peranan yang cukup besar sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (4) Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 bahwa Panitia Seleksi dan Satuan Tugas akan memperhatikan keterwakilan keanggotaan perempuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota.
Dengan demikian, pada dasarnya mahasiswa memerlukan pemahaman yang komprehensif tentang Pasal 5 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 yang sempat menjadi polemik di masyarakat. Pasal 5 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 mengatur sebagai berikut:
Pasal 5 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021
(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
- menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
- memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
- menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
- menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
- mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
- mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
- membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
- memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
- menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
- membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
- memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
- mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
- melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
- melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
- memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
- memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
- membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
- melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
(3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban :
- memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
- mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
- mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
- memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
- mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
- mengalami kondisi terguncang.
Polemik yang terjadi di masyarakat salah satunya disebabkan oleh adanya frasa “tanpa persetujuan Korban” yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Frasa “tanpa persetujuan Korban” dianggap oleh sebagian kelompok sebagai frasa yang multitafsir dan dapat melegalkan zinah sebagaimana dinyatakan oleh Anggota Komisi X DPR RI Fahmy Alaydroes agar Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dicabut karena mendukung praktik perzinaan serta hubungan seksual sesama jenis (Makdori, 2021). Di lain pihak, BEM SI lebih mendukung untuk dilakukannya revisi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 khususnya terhadap frasa “tanpa persetujuan” karena memiliki potensi melegalkan seks bebas (cnnindonesia.com). Sedangkan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj menekankan bahwa ia memberi dukungan terhadap Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tetapi perlu direvisi pada beberapa bagian (asumsi.co).
Sedangkan, ada pihak yang menerima Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 sebagai aturan yang sudah tepat dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terutama di lingkungan perguruan tinggi. Menurut sudut pandang dari pihak ini, frasa “tanpa persetujuan korban” tidak menjadi permasalahan. Artinya, frasa “tanpa persetujuan korban” tidak bermakna bahwa aturan tersebut dapat melegalisasi perzinaan, melainkan lebih pada menunjukkan bahwa pada dasarnya terdapat risiko terjadinya kekerasan seksual karena hubungan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban (Suyanto, 2021). Selain itu, dapat dimaknai bahwa frasa “tanpa persetujuan korban” di dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 lebih ditujukan untuk menjaga privasi dan hak individu korban (Amal, 2021).
Sebagai mahasiswa, sebenarnya memiliki kebebasan dalam negara demokrasi untuk mendukung atau tidak mendukung penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Namun, dalam kerangka negara hukum Indonesia, maka sudah selayaknya Permendikbudristek No. 30 Tahun dianggap benar serta memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dinyatakan sebaliknya. Jadi, peran mahasiswa dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi harus berpedoman pada pemahaman yang tepat terkait dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 selama masih berlaku serta norma-norma lainnya yang berkembang di masyarakat.
SUMBER
Asumsi. 2021. NU Minta Nadiem Perbaiki Permendikbud PPKS terkait Frasa 'Tanpa Persetujuan Korban'.
CNN Indonesia. 2021. BEM SI Serukan Revisi Bias Makna di Permendikbud Nadiem.